4 musim untuk Leksa
Spesial untuk sahabatku tersayang althaf nissa
Teman-temanku mengira dan menyetempel aku sebagai robot milik dia. Robot penurut nomor satu, tempat suruhan untuk mengerjakan sesuatu sesuai perintah dia, namun berinti bukan termasuk kriminal sebab merugikan satu pihak. Diantara aku dan dia saling menerapkan simbiosis mutualisme. Kecewa atas penuturan semua teman? Pastinya terasa olehku. Tapi sebagaimana besar omongan mereka , aku akan meminta pada Tuhan untuk menebalkan kupingku agar tidak mendengar omongan tidak berbobot itu, toh suara mereka sepertinya tidak terbukti dan tidak akan pernah terbukti. Hubungan terjalin aku memberi-dia menerima, dia memberi-aku menerima, sederhana. Sederhana yang entah dari kapan ada dalan hidupku, aku lupa.
Tali saudara sudah kuanggap sedemikian rupa antara aku dan dia. Kemana pun aku dan dia pergi selalu bersama kecuali masuk toilet dan kamar tidur (‘cause this is the screet work beside us). Banyak hal ajaib dalam dia, dia serasa seorang kakak yang melindungiku, ibu yang menasehatiku, guru yang mengajariku. Senang merekah untuk mengenal dia.
Tahun keenam pada pertemanan aku dan dia. Gembira bersama dia kian terlihat aneh. Pohon subur itu kiranya sudah nyaman menghirup udara yang bertemankan pohon-pohon lain. Pohon-pohon lain tersebut tentulah bukan aku. Sedangkan aku sudah seperti menjadi benalu bagi dia. Mengapa tingkah dia demikian aku juga kurang faham. Kau tau apakah aku suka dengan keadaan ini. Sungguh tidak. Warna-warna tawa aku dan dia yang telah lalu seketika pudar. Aku seperti menjadi orang lain. Orang lain yang memang tidak mengenal satu sama lain. Ibu, aku ingin menceritakan semua ini padamu. Tentang kalau aku dan dia sedang tidak baik lagi. Aku tau, bila kau tau pasti akan sangat tidak suka, aku tau persis itu. Aku masih ingat kejadian taun lalu kala aku bercerita padamu tentang aku dan dia sewaktu kami marahan selama kurang lebih 3 atau 4 hari dengan alasan aku tidak mau menemani dia membeli kado valentine untuk kekasih dia karena aku sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aku yang merasa tidak salah mengambil keputusan tidak akan mengawali minta maaf sebelum dia mendahului. Namun waktu berkata lain. Kau tidak menyetujui pendapatku. Kau risi dengan kejauhan aku dan dia. Pada saat itu kau langsung menyuruhku menemu dia meminta maaf. Memang mudah hanya aku bosan melakukan kegiatan keakraban yang terlahir dengan judul “mengawali mengalah demi cipta kedamaian”. Apalah daya, ibuku ya harus ibuku. Sangat dilarang kalo berani mematahkan kemauannya. Bisa-bisa rumah ini akan mengalami gempa berskala 7, 9 richter. Dahsyat.
Dan maafkan aku ibu. Kejadian tersebut terulang kembali dalam hidupku untuk kesekian kalinya, tepatnya tiga kali. Ku harap bahwa ini masih bisa kuatasinya tanpa tercim dulu bangkainya oleh kau ibu. Aku janji ibu, serumit apapun hidupku dengan tidak bersama dia, aku harus santun menjalaninya dalam sepi. Dalam malam rinai air mata merindukan gelak antara aku dan dia. Cukup semua itu terbayangkan mata sebagai obat. Aku rindu padamu kawan, sungguh.
Ceria mentari pagi menyalami hari dimana aku-dia meninggalkan gedung sekolahan Menengah Atas swasta. Bukanlah suatu ketidakcocokan andai mereka terang sedangkan aku dan dia bercuaca mendung. Padahal inilah pakar dia soal ajaran nabi bahwa diantara tiap kaumnya dilarang mendiamkan mitranya ketika telah ada perselisihan. Kenapa dia kurang mempraktekannya.
Halaman sekolah tertata begitu rapinya. Terisi kursi-kursi untuk para tamu undangan dan wali murid. Di dekat gerbang pintu masuk telah berjejer karangan bunga bersterofom kotak besar tertuliskan selamat dan sukses untuk beberapa temanku yang beruntung menerimanya. Bahagia sekali mereka. Satu pun dari puluhan karangan bunga tersebut, tidak ada daftar namaku. Ibuku, mana mungkin dia membeli tanpa pemesanan dariku. Ayah pun demikian. Kakak, lagi kurang mood mengurusi hari spesialku. Alur otakku menalar bahwa putus cinta adalah hal bodoh apabila setelah mengalaminya kemudian berdampak frustasi alias memutilasi jalan hidup. Kakakku merupakan salah satu korban dari ratusan orang bodoh itu. Korban dari rangkaian kebahagiaan yang terputus.
Acara berjalan memuaskan. Aku mendapati peringakat 5 dan dia 1. Namun sampai usai acara, tampaknya tidak ada tanda kemunculan batang hidung dia. Saat pemanggilan diatas panggung pun dia diwakilkan teman baru dia yang juga aku kenal. Soal teman baru dia, pernah kuceritakan tempo hari pada kalian bukan? Menambah semakin rumit saja masalah ini.
Selang sehari setelah acara pelepasan status wajib sekolah 12 tahun, aku meminta izin ibu pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan camping sekolah yang akan diadakan tiga hari lagi. Sebelum pergi, aku mencoba kerumah dia menanyai barangkali punya waktu luang menemaniku belanja. Semoga kali ini dewi vortune sedang mengibakkan sayapnya agar bisa kutumpangi terbang menuju negri the real happy.
Rumahnya lumayan sepi tapi masih ada kehidupan didalamnya, karena halaman rumah dia masih tampak bersih, rapih. Pasti Tante Meti lah pelakunya. Beliaulah satu-satunya penghuni rumah yang menggandrungi kebersihan dan kerapihan selain dia. Lucu juga mengingat soal itu. Ah sudahlah, tujuanku kesini bukan untuk bernostalgia. Tapi siang ini aku nekad mencoba mengajak dia pergi. Mungkinkah dia mau?
Pak Naya memberhentikkan mobil ditempat parkiran mobil pada serambi supermarket. Beliau yang selama ini setia menemaniku saat orang-orangku menghilang. Kakak tidak ada, dia tidak ada, namun hasilnya tetap tidak jauh beda pergi dengan sopir pribadi ayah. Seru juga. Kayak ayah ke-2 bagiku saja. Kunjunganku kerumahnya tadi tidak menggandeng kabar baik. Kata Tante Meti, dia sedang keluar bersama teman dia karna janji. Jadi setiba diruang besar yang mungkin amat sangat cukup untuk bermain petak umpet seperti waktuku kecil, aku dan Pak Naya berkeliling entah kearah manapun tidak jelas karna kami sama-sama buta arah. Haha. Biasanya dia penunjuk arahku dan tugasku mengekor dan sekarang dia tidak ada. Meski sekarang tanpanya, akhirnya kami menemu kemudian membeli satu per satu barang yang dicari. Sampai sesuatu yang tidak dicari akhirnya ditemu ditempat ini. Kalian ingin tau apakah gerangan? Sangkaan seperti ini tidak pernah terpikirkan olehku.
“Kakak!!” perespon suaraku menengok sekaligus tidak kuat menahan senyum anehnya. Makna senyum tidak enak ditambah malu merona. Aneh sekali orang ini bisa malu padaku, Pikirku.
“hemt, kakak gimana sih, kata ibu kakak lagi sibuk di kampus, kenapa malah enak-enakan disini, gak ngajak aku lagi, menyebalkan!”. Bujang kawakan itu setengah enggan menjawab tanyaku, lagaknya hanya tersenyum-senyum salah.
“Leksi ...!” Belum selesai menanggapi bujang culun dihadapanku, ada seseorang memanggilku. Tengokanku seketika membuyarkan kejadian apapun yang barusan aku alami. Sekarang aku fokus pada seseorang di hadapanku. Tubuh berisi, dengan tinggi 157 cm di depanku terpaku juga menatapku. Dia, second ini dia ada di hadapanku. Bukan bayangan lagi. Kami berdua diam dalam keramaian sekitar.
Kali ini belum ada yang dapat menandingi rasa bahagiaku. Gelembung-gelembung bahagia itu menaburiku lewat kiriman Tuhan Sang Maha Cinta yaitu kembalinya dia menyentuh hariku.
Kakak merangkul tubuhku dan menggandeng tanggan dia. Kami menuju tempat duduk dimana kakak tadi ada. Sebuah kafe kecil dalam ruangan supermarket. Pak Naya tidak ketinggalan kami ajak bergabung. Hanya saja ia menolak lembut dengan alasan mau menunggu di mobil saja sebab ngantuk dan capek. Kakak menerima alasan yang pantas untuk mempersilahkan Pak Naya meninggalkan kami.
Dengan menghabiskan waktu 99 menit, cukup sudah ceritaku, cerita dia, cerita kakak terselesaikan. Kami pulang. Bejalan menyusuri ruangan-ruangan besar berAC. Bagi yang berkaos lengan pendek serta celana tigaperempat sepertiku dijamin akan merasakan ketiadaan panas. Untung saja kets plus kaos kaki pendek yang kupakai sedikit mampu menjadi penghangat kaki.
Kakak memimpin barisan didepan. Aku dan dia bergandengan tangan membuntuti.
“eh Mon, dasar aneh bin culun kamu yah, mau-maunya jadi cewek orang gak jelas kaya dia” kerdip mataku menunjuk kearah kakak mencandainya.
“sembarangan kamu de, gini-gini kakakmu ini baik hati, suka menolong, setia dan tidak sombong tau” sentum bangganya merekah sembari mengangkat kerah kemeja kotak-kotak biru putihnya.
“hahahahahaha” kami sekata menertawai banyolannya.
14 februari, dia Monika citrasetiady bersama aku Leksa Triharti Ningsih, merajut kembali sayap yang nyaris patah. Dua pesanku padanya; 1. “jangan menjauhiku lagi bila dengan alasan kamu punya hubungan spesial dengan orang dekatku. Aku tidak akan tidak suka”. 2. “jangan menjauhiku lagi, karena aku akan sangat merindu boneka pandaku yang bisa kucubit saat aku bahagia dan lara”.
“iya adeku” tanpa aba-aba otomatis kami tertawa menyimak sebutan baru dia untukku. Hingga perut kami melilit.
“oiya Leksa, aku punya sesuatu untukmu...
“Mmm nih ambil” semangat dia mengulurkan sebuah kotak berbungkus kertas kado dengan ukuran kotak 20x15 cm. Pelan-pelan aku buka dan tumpukan tetralogi novel karya Illana Tan menghipnotis mataku. 4 judul komplit: Autumn in Paris, Winter in Tokyo, Summer in Seoul, Spring in London.
“Monikaaaaaa, gokil lbanget lo!!” seruku bahagia tidak tertahankan.
“I like it so much!!” thaks a lot kakakku. Hahahahaha
Di taman rumahku, dalam gulita malam berbintang ini kami tersenyum menatap masa depan yang akan kelap-kelip seperti mereka. Aku dan dia mengalami the real happy.
Purwokerto, 12 Februari 2013 23.46
By:
aku yang amat merindumu